Solo Traveling ke Yangon, Myanmar : Hari ke-2
Thursday, December 19, 2013Belajar dari pengalaman hari pertama dimana hujan turun hampir seharian, di hari kedua ini gw berencana nyewa mobil sekaligus supir merangkap guide yang akan nganterin gw keliling Yangon. Berbeda dengan itinerary hari pertama yang memang lokasinya bisa ditempuh dengan berjalan kaki, hari kedua lokasinya memang agak jauh-jauh dari hotel tempat gw nginep. Andai kata nggak musim hujan gw pasti udah nyewa sepeda untuk keliling kota, tapi apa daya mendung terus bergelayut di atas kota Yangon.
Supirnya juga ramah, pas kenalan dia bilang namanya "Saw". Gak tau deh tulisannya gimana, pokonya kedengarannya gitu. Hehehe… Dia bisa bahasa Inggris walaupun nggak lancar. Dan seperti orang Myanmar kebanyakan, kostum dia juga kemejaan dan pake sarung Longyi. Nah, ngomong-ngomong soal Longyi, tujuan pertama hari ini adalah berburu Longyi yang rencananya mau gw pake seharian foto-foto plus juga buat oleh-oleh.
Belanja Longyi di Bogyoke Aung San Market
Pasar ini dulunya dikenal dengan nama Scott Market. Tapi sekarang lebih sering disebut Bogyoke Aung San Market. Pas gw bilang ke Saw mau ke tempat ini, dia bingung gitu. Ternyata pelafalan gw dalam menyebut nama pasar ini salah. Gw bilangnya Bog-yo-ké, tapi sebenernya cara bacanya adalah Bo-jiok. Pantesan aja dia bingung. FYI, Bogyoke Aung San itu adalah nama ayahanda dari Aung San Suu Kyi.Pasar ini memiliki bentuk arsitektur kolonial, karena memang dibangun sejak jaman penjajahan Inggris. Trus yang menarik, jalan dan gang-gang di antara bangunan pasar ini terbuat dari paving cobblestone alias batu-batu bulat yang umumnya ditemui di jalan-jalan lama di Eropa. Begitu nyampe, sebenernya gw pengen nyobain pengalaman minum teh atau kopi susu Myanmar yang ada di gang-gang pasar ini sambil duduk di kursi dan meja plastik yang pendek. Tapi karena hujan, ternyata nggak pada jualan.. Sigh…
Ngopi-ngopi dan ngerokok bareng Saw di warung kopi, Bogyoke Aung San Market
Jalan dan gang di sekitar pasar yang menggunakan paving cobblestone
Tapi untung si Saw ada langganan warung yang letaknya di dalam bangunan pasar, jadilah kita ngopi-ngopi dulu sambil ngerokok. Maklum, dingin juga pagi itu jadi butuh yang anget-anget. Selesai ngopi, langsung keliling-keliling pasar untuk cari handicraft. Di pasar ini emang tempatnya turis berburu oleh-oleh. Mulai dari pahatan, lukisan, tembikar, pakaian, logam mulia, sampe barang antik semua ada disini. Nggak heran kalo sebenernya agak mahal barang-barang disini karena memang sudah sangat tourist oriented.
Walaupun tujuan utama disini mau cari Longyi, tapi begitu ngeliat pahatan patung-patung Nat dari kayu cendana jadi pengen beli juga. Beli deh akhirnya satu yang bentuknya Nat BoBoGyi buat pajangan. Harganya lumayan mahal sih, 12.000 Kyats. Tapi katanya emang harganya segitu karena terbuat dari kayu cendana asli. Sebelum duit abis dan makin tergoda beli yang lain-lain, gw minta Saw untuk langsung nganterin ke tempat yang jual Longyi. Dan, begitu liat motif-motifnya yang sangat menarik, jadi tergerak untuk borong banyak deh si Longyi ini dengan harga 7000 Kyats untuk kain cewe, dan 6000 Kyats untuk kain cowo. Emang yang kain cewe lebih banyak detail tenunannya jadi wajar kalo lebih mahal.
Danau Kandawgyi & Karaweik Royal Hall
Tujuan berikutnya adalah Danau Kandawgyi dimana di tepi sebelah timurnya terdapat replika kapal kerajaan berbentuk burung Karaweik, mahluk mitologi Myanmar yang mengeluarkan suara tangisan merdu. Danau ini merupakan salah satu dari dua danau utama di kota Yangon. Merupakan tempat piknik yang sangat asri dan pusat rekreasi keluarga dimana juga terdapat Yangon Zoological Garden, akuarium, hotel berbintang, serta restoran di sekeliling danau.
Berfoto bersama Saw di depan Danau Kandawgyi dengan latar belakang Karaweik Royal Hall (kanan)
dan puncak Pagoda Shwedagon (antara gw dan Saw) yang tampak samar-samar dari kejauhan.
Sementara replika kapal kerajaan tadi difungsikan sebagai restoran milik pemerintah yang menyajikan makan siang dan makan malam dengan menu makanan Myanmar, Chinese, dan juga Western. Kalo soal harga sih kayanya agak mahal ya kalo liat dari bangunannya yang megah. Tari-tarian tradisional juga sering kali dipentaskan di sini saat malam hari. Kemegahan Pagoda Shwedagon dari kejauhan juga dapat disaksikan dari restoran ini.
Chaukhtatgyi Pagoda
Pagoda ini merupakan salah satu tempat yang tidak boleh dilewatkan oleh turis yang bertandang ke kota Yangon. Bangunannya sendiri bukan sesuatu yang spektakuler, yaitu berupa bangunan semi terbuka dengan beratapkan seng. Namun pesona pagoda ini terletak patung Buddha tidur yang berukuran sangat besar dengan panjang 59,28 meter dan tinggi 30,4 meter. Bukan itu aja, patung Buddha tidur di Chaukhtatgyi ini berlapis emas dan bertatahkan batu-batu mulia di beberapa bagian. Detail patung Buddha yang juga perlu diamati adalah bagian kakinya, dimana terdapat simbol-simbol yang menggambarkan tahapan kehidupan Sang Gautama. Sama halnya dengan pagoda Botahtaung yang gw datengin kemarin, disini selain patung Buddha juga ada patung-patung Nat. Juga jangan heran kalo bakal banyak nemuin Bhiksu disini, karena emang di depan pagoda ini ada biara.
Di deket tempat parkir, ada deretan toko-toko suvenir khas Myanmar dengan harga yang reasonable. Jujur, di Yangon gw nggak banyak nemuin tempat yang jual suvenir khas sana. Jadi saran gw, kalo nemu tempat jual suvenir jangan mikir dua kali ya, beli aja selama masuk budget. Di tempat ini gw beli beberapa set gantungan kunci dengan gambar landmark kota Yangon, bedak dingin khas Myanmar: Thanaka, dan juga sendal jepit! Kenapa? Karena selama keliling-keling tadi, sepatu Wakai gw itu basah karena kemaren becek-becekan keliling downtown Yangon. Tapi sendal jepitnya decent kok, kaya anyaman gitu... Khas Myanmar lah pokoknya... Hehehe
Makan Siang di Feel Myanmar
Pagoda ini merupakan salah satu tempat yang tidak boleh dilewatkan oleh turis yang bertandang ke kota Yangon. Bangunannya sendiri bukan sesuatu yang spektakuler, yaitu berupa bangunan semi terbuka dengan beratapkan seng. Namun pesona pagoda ini terletak patung Buddha tidur yang berukuran sangat besar dengan panjang 59,28 meter dan tinggi 30,4 meter. Bukan itu aja, patung Buddha tidur di Chaukhtatgyi ini berlapis emas dan bertatahkan batu-batu mulia di beberapa bagian. Detail patung Buddha yang juga perlu diamati adalah bagian kakinya, dimana terdapat simbol-simbol yang menggambarkan tahapan kehidupan Sang Gautama. Sama halnya dengan pagoda Botahtaung yang gw datengin kemarin, disini selain patung Buddha juga ada patung-patung Nat. Juga jangan heran kalo bakal banyak nemuin Bhiksu disini, karena emang di depan pagoda ini ada biara.
Di deket tempat parkir, ada deretan toko-toko suvenir khas Myanmar dengan harga yang reasonable. Jujur, di Yangon gw nggak banyak nemuin tempat yang jual suvenir khas sana. Jadi saran gw, kalo nemu tempat jual suvenir jangan mikir dua kali ya, beli aja selama masuk budget. Di tempat ini gw beli beberapa set gantungan kunci dengan gambar landmark kota Yangon, bedak dingin khas Myanmar: Thanaka, dan juga sendal jepit! Kenapa? Karena selama keliling-keling tadi, sepatu Wakai gw itu basah karena kemaren becek-becekan keliling downtown Yangon. Tapi sendal jepitnya decent kok, kaya anyaman gitu... Khas Myanmar lah pokoknya... Hehehe
Makan Siang di Feel Myanmar
Nggak kerasa hari udah siang, dan inilah saatnya mencicipi makanan asli Myanmar. Berhubung kemarin malah makan siang Nasi Briyani yang sebetulnya bisa gw temuin di Pasar Baru, Jakarta, hari ini nggak mau asal pilih lagi. Gw langsung bilang dengan PDnya ke Saw, "Let's go nay-le-za!"... Begitulah menurut kitab suci Lonely Planet bahasa Myanmar-nya makan siang. Tapi lagi-lagi Saw bingung, mungkin cara bacanya salah lagi... Hahahaha... Pas gw tunjukin tulisan-tulisan keriting Burma yang juga tercetak di buku ini, baru dia paham. "Oh... What Food? Myanmar food??", tanyanya. Dan gw langsung jawab tanpa pikir panjang, "Yes, please!!!"
Alhasil dibawalah gw ke restoran Little Feel Myanmar ini. Berhubung memang jam makan siang, jadinya rame dan padet banget, untung masih kebagian meja. Cara ordernya hampir sama kalo kita makan di Rumah Makan Ampera gitu, ada kounter dimana piring-piring berisi aneka masakan, kita tinggal tunjuk trus ntar dipanasin sebelum dihidangkan ke meja kita. Karena nggak pesen dari buku menu, jadi gw nggak tau deh satu per satu nama makanannya. Yang jelas, kita (gw sih) pesen makanannya agak kalap... Hahaha... Bisa buat makan empat orang sebenernya. Yang lebih bikin mirip sama RM. Ampera, disini juga ada sambel dan lalapan. Yang bikin mirip lagi, ada pajangan bakul nasi dan alat-alat masak lainnya dari kayu maupun anyaman bambu, bener-bener kaya rumah makan Sunda kitu, euy!

The Great Shwedagon
Gerbang masuk Shwedagon sisi Barat, patung Chintenya asli gede banget
Kompleks Pagoda Shwedagon Dengan Arsitekturnya yang Mengagumkan
Pagoda berumur 2500 tahun yang terletak di puncak bukit Singuttara ini memiliki gerbang masuk di empat arah mata angin. Masing-masing memiliki desain yang berbeda-beda. Gw sendiri diarahin untuk masuk dari gerbang Barat. Dan sama halnya dengan pagoda-pagoda lainnya, pintu masuk selalu dijaga oleh sepasang patung Chinte, mahkluk mitologi Myanmar setengah naga setengah singa. Sebelum masuk ke Shwedagon, gw sempetin untuk ganti baju pake baju koko yang udah gw siapin dari tanah air. Narsis juga butuh props kan... Hehehe... Biar keliatan lebih nge-blend sama orang asli Myanmar ceritanya.

Di dalam kompleks pagoda ini banyak banget bangunan yang didalamnya ada patung-patung Buddha. Yang jelas semuanya tempat beribadah ya, nggak tau juga apa beda satu dan lainnya. Sempet juga masuk ke Museum Shwedagon, disini nggak boleh foto-foto karena memang berisi barang-barang kuno berharga yang sebagian besar terbuat dari logam mulia. Mulai dari barang peninggalan kerajaan, inskripsi-inskripsi kuno, sampe suvenir pemberian negara tetangga yang bernuansa Buddha. Termasuk dari Indonesia lho, ada kerjainan perak berbentuk Candi Borobudur! Curiganya buatan Kotagede, Jogjakarta tuh....
Royal White Elephant Garden
Semula rencana mau stay di Shwedagon sampe agak maleman karena pengen capture nuansa malamnya juga. Tapi deal sama Saw kan cuma sampe jam 4 sore, dan waktu itu udah sekitar jam 2an. Trus gw ngikut aja ama Saw mau dibawa kemana, karena itinerary udah selesai dijalankan. Dia nyaranin gimana kalo kita liat Gajah Putih. Pertama gw ogah-ogahan karena gw pikir itu patung. Ternyata dia bilang Gajah Putihnya hidup! Hah?? Emang ada???
Dannn.... Inilah si Gajah yang nggak putih juga sebenernya. Memang gajah ini agak pinky gitu, tapi dianggepnya "putih" karena memang kulitnya berwarna lebih muda dari gajah umumnya. Gajah jenis ini dianggap sakral oleh orang Myanmar dan merupakan lambang kemakmuran kerajaan serta dipercaya membawa stabilitas dan kedamaian. Tempat ini nggak gitu dikelola dengan baik, untuk jalan masuknya aja cuma jalan setapak ngelewatin kebun semak-semak. Di pintu depan ada pos penjagaan untuk beli tiket masuk tapi waktu itu nggak ada yang jaga. Jadi gratis deh. Hahaha....
Kyauk Daw Gyi Pagoda
Next, gw diajak ke satu pagoda lagi. Kata Saw, setiap malam bulan purnama dia kalo berdoa disini. Pagoda ini juga terletak di atas bukit, tapi nggak terlalu tinggi. Kita harus naik tangga dulu untuk mencapai ke atas. Mungkin memang sudah jadi keyakinan asli orang Asia untuk membangun tempat-tempat suci di tempat yang tinggi. Gerbang masuknya juga lagi-lagi terdapat pantung Chinte, tapi selain itu yang bikin gw heran di kanan kiri tangga ada ornamen Naga seperti arsitektur rumah joglo di Jawa. Sepertinya dulu memang pernah terjalin hubungan yang cukup dekat antara kerajaan di Myanmar dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Dannn.... Inilah si Gajah yang nggak putih juga sebenernya. Memang gajah ini agak pinky gitu, tapi dianggepnya "putih" karena memang kulitnya berwarna lebih muda dari gajah umumnya. Gajah jenis ini dianggap sakral oleh orang Myanmar dan merupakan lambang kemakmuran kerajaan serta dipercaya membawa stabilitas dan kedamaian. Tempat ini nggak gitu dikelola dengan baik, untuk jalan masuknya aja cuma jalan setapak ngelewatin kebun semak-semak. Di pintu depan ada pos penjagaan untuk beli tiket masuk tapi waktu itu nggak ada yang jaga. Jadi gratis deh. Hahaha....
Kyauk Daw Gyi Pagoda
Next, gw diajak ke satu pagoda lagi. Kata Saw, setiap malam bulan purnama dia kalo berdoa disini. Pagoda ini juga terletak di atas bukit, tapi nggak terlalu tinggi. Kita harus naik tangga dulu untuk mencapai ke atas. Mungkin memang sudah jadi keyakinan asli orang Asia untuk membangun tempat-tempat suci di tempat yang tinggi. Gerbang masuknya juga lagi-lagi terdapat pantung Chinte, tapi selain itu yang bikin gw heran di kanan kiri tangga ada ornamen Naga seperti arsitektur rumah joglo di Jawa. Sepertinya dulu memang pernah terjalin hubungan yang cukup dekat antara kerajaan di Myanmar dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Hanging Out with The Locals
Saat terakhir bersama Saw hari itu merupakan pengalaman yang sangat sweet buat gw. Dia ngajak gw untuk main ke neighbourhood-nya dia. Sebuah daerah pemukiman padat dan sangat urban, sayang gw nggak inget apa nama daerahnya. Yang jelas nggak jauh dari Pagoda Kyauk Daw Gyi.
Gw diajak untuk minum kopi susu di kedai punya temennya. Dan di sore itu kedai cukup ramai dengan orang-orang yang nobar acara TV yang kemudian gw baru menyadari kalo itu acara pengumuman lotere. Si Saw juga mengundang satu lagi temennya yang pernah kerja di Malaysia. Jadilah kita waktu itu cakap-cakap sikik Bahasa Malay. Berhubung si Saw udah ditelfonin sama Hotel karena ada tamu lain yang minta dianter, momen hanging out with the locals itu harus segera diakhiri. Gw pamit sama temen-temennya Saw, dan gw gak dibolehin bayar minumannya alias ditraktir, gw cuma mengucapkan "Jay-zu-ding-ba-de!" alias terimakasih banyak.
Baca Juga: Jalan-jalan di Yangon, Myanmar: Hari ke-3
Saat terakhir bersama Saw hari itu merupakan pengalaman yang sangat sweet buat gw. Dia ngajak gw untuk main ke neighbourhood-nya dia. Sebuah daerah pemukiman padat dan sangat urban, sayang gw nggak inget apa nama daerahnya. Yang jelas nggak jauh dari Pagoda Kyauk Daw Gyi.
Suasana Daerah Urban di Pinggiran Kota Yangon
----
Sesampainya di hotel, gak banyak lagi yang bisa gw lakukan di sisa hari itu. Cuma mandi, siap-siap cari makan malem, dan packing untuk pulang besok pagi dengan segambreng oleh-oleh. Tapi... Pas diliat-liat, kayanya oleh-oleh belum cukup banyak. Nah, di tulisan bagian ke tiga nanti akan gw share apa oleh-oleh yang akhirnya gw beli. Stay tune!
Baca Juga: Jalan-jalan di Yangon, Myanmar: Hari ke-3
0 comments